Relasi Kekuasaan: Sulinggih, Pemaksan, dan Pamedek

1 month ago 5
ARTICLE AD BOX
Kekuasaan sendiri dapat diartikan sebagai kemampuan atau potensi untuk memengaruhi, mengendalikan, atau mengarahkan perilaku pihak lain. Dalam konteks relasi kekuasaan, terdapat interaksi antara pihak yang memegang otoritas dan pihak yang berada dalam posisi subordinat, di mana hubungan ini tidak bersifat statis melainkan terus berkembang seiring perubahan situasi sosial, politik, ekonomi, dan budaya. 

Pemikiran para ahli seperti Michel Foucault, Max Weber, dan Steven Lukes memberikan kontribusi penting dalam menganalisis relasi kekuasaan. Foucault, misalnya, menekankan bahwa kekuasaan tidak semata-mata bersifat represif, tetapi juga produktif karena dapat menciptakan pengetahuan, norma, dan praktik yang mengatur kehidupan sosial. Sementara itu, Weber menyoroti aspek legitimasi dan birokrasi dalam penggunaan kekuasaan. Sedangkan Lukes mengemukakan dimensi-dimensi kekuasaan yang sering kali tidak tampak secara langsung.

Relasi kekuasaan di Pura di Bali melibatkan tiga aktor utama, yaitu, Sulinggih yang memiliki otoritas spiritual dan keagamaan tertinggi. Sulinggih adalah pemimpin upacara, penafsir kitab suci, dan pemberi petunjuk spiritual. Mereka dihormati karena pengetahuan dan kesuciannya. Pemaksan Pura (pengurus Pura) bertanggung jawab atas pengelolaan fisik dan administratif Pura. Mereka mengawasi pemeliharaan bangunan, mengatur jadwal upacara, mengumpulkan dana, dan memastikan kelancaran kegiatan Pura. Pemaksan Pura biasanya dipilih dari tokoh masyarakat setempat yang memiliki pengaruh dan kemampuan manajerial. Dan, pamedek (umat Hindu) merupakan peserta aktif dalam upacara keagamaan dan kegiatan Pura. Mereka memberikan dukungan material (dana, tenaga) dan spiritual kepada Pura. Pamedek mengharapkan bimbingan spiritual dari Sulinggih dan pelayanan yang baik dari pemaksan Pura.
Relasi kekuasaan antara ketiga aktor ini bersifat kompleks dan dinamis. Sulinggih memiliki otoritas spiritual yang diakui secara luas, tetapi tidak memiliki kekuasaan administratif langsung. Pemaksan Pura memiliki kekuasaan administratif, tetapi harus menghormati otoritas spiritual Sulinggih. 

Masyarakat Bali memiliki sistem hierarki sosial yang memengaruhi relasi kekuasaan di Pura. Tradisi dan adat Bali memainkan peran penting dalam menentukan peran dan tanggung jawab masing-masing aktor. 

Aturan-aturan adat mengatur bagaimana upacara harus dilaksanakan, bagaimana Pura harus dikelola, dan bagaimana pamedek harus berpartisipasi. Pemaksan Pura seringkali memiliki akses ke sumber daya ekonomi dan politik yang dapat mempengaruhi kekuasaan mereka. Mereka dapat menggunakan pengaruh mereka untuk mengumpulkan dana, mendapatkan dukungan dari pemerintah, dan memobilisasi pamedek. 

Modernisasi dan perubahan sosial telah membawa tantangan baru bagi relasi kekuasaan di Pura. Peningkatan pendidikan, urbanisasi, dan globalisasi telah mengubah cara pandang masyarakat terhadap agama dan tradisi.

Relasi kekuasaan yang tidak seimbang atau tidak dikelola dengan baik dapat menyebabkan konflik. Beberapa potensi konflik, misalnya, perebutan kekuasaan untuk mendapatkan pengaruh dan kontrol atas Pura. Penyalahgunaan kekuasaan kadang terjadi untuk keuntungan pribadi atau kelompok. Pamedek kadang merasa tidak puas dengan pelayanan yang diberikan oleh pemaksan Pura atau dengan cara upacara dilaksanakan. 

Untuk menjaga harmoni relasi kekuasaan di Pura harus memiliki saling menghormati, transparan, dan akuntabel dalam pengelolaan, dialog, dan musyawarah. Semua pihak harus mematuhi tradisi dan adat Bali yang mengatur kehidupan Pura. Peningkatan pendidikan dan kesadaran tentang agama dan tradisi Bali dapat membantu mengurangi konflik dan memperkuat harmoni. 7
Read Entire Article